Penyakit Jiwa (HASAD/dengki)
kajian Afaat 'ala thariq
ustadz Abdul Aziz, AR, Lc, Alhafidz.
Begitu besar penyakit ini. Hasad oleh para
ulama disebut dengan siddatul asa wa zawali nikmatal ghair. Maksud istilah itu adalah
merasa terganggu dan menginginkan nikmat orang lain itu sirna. Ketika nikmatul
ghoir itu tdk berdampak bagi kita, hanya sebuah keinginan saja maka itu disebut
ghibtoh. Contoh ya Allah mobilnya dia kok bagus, saya ingin seperti itu karena
dengan mobil itu bisa digunakan untuk jalan dakwah. Kalau hasad, jiwa kita merasa
kesal, dibawa dengan rasa suudzon “jangan-jangan menjadi ketua itu karena ada factor
kedekatan dengan atasan”, kemudian diikuti dengan pembangkangan yang lainnya.
Hasad itu bisa menghabiskan kebaikan-kebaikan,
menggerogoti pahala amal solih. Dengan hasad
maka lahir suudzon, tidak rela dengan takdir Allah, ada sakit hati pada
hamba Allah. Apalagi kalua sampai bentuk perbuatan. Hatinya sakit, perbuatannya
adalah maksiyat. Hasad bagaikan api yang melumat kayu. Maka pentingnya
manusia bermakrifat pada allah sebaik-baiknya. Yakin pada allah pada dirinya
bisa diisebut waasi’al fadl. Bahwa pada dirinya Allah memberikan karunia
luar biasa, adapun kenikmatan org lain yang blm kita miliki adalah alfaqdu…
(manusia punya nikmat yang tidak sama). Inilah hakikat dunia. Hanya syurga yang
apa kita inginkan akan punya.
Di dunia otomatis kita gak mungkin memiliki semua
yang kita inginkan. Ketika allah memberikan saudara kita ada punya rumah,
mobil, smeua ada. Sementara kita tidak punya. Bisa jadi kita tiidak punya
rumah, tapi allah memberikan kita kesehatan yang tidak mengeluarkan biaya
besar, bisa jadi allah berikan kebahagiaan yang banyak, anak yang sehat, dll. Tidak
mungkin manusia itu punya semuanya atau tidk punya semua. Maka pentingnya
makrifatul ni’am. Harus tau nikmat-nikmat yang Allah berikan.
Nikmat mau menghafal ini adalah salah satunya.
Meskipun tidak hafal, hafal, dll. Maka kendatipun kita para penghafal quran,
hasad itu mungkin saja masih memiliki hasad.
Maka hal itu dapat mengecilkan diri kita. Padahal kita sudah
memiliki kemuliaan yang begitu besar. “laqad anzalnaa … fii dzikrukum”. Dalam diri
ada kemuliaan berupa Alquran. “qul bifadlillahi wabirahmatihi”. Maka seharusnya
bangga dalam arti bersyukur. Manusia yang telah mendapat hidayah alquran, maka
akir hidupnya lebih baik daripada orang terkaya di dunia ini. Isnya Allah
terbukti saat sakaratul maut. Sebegitu agungnya nikmat alquran dari allah. Maka
aneh jika sudah rajin hafal quran, tetapi kita masih hasad ketika melihat
saudaranya. Perlu kita ketahui bahwa Aselinya kebahagiaan adalah ketaatan pada
Allah, bukan kedudukan, dah harta. Itulah kalo kita faham nikmat allah. Jangan pernah
merasa ditinggalkan oleh Allah. Orang yang seperti tiu bisa jatuh dalam
kekufuran. “dengan adanya hasad pada penghafal Quran, sejatinya mengecilkan apa-apa
yang sudah Allah berikan berupa keagungan dalam dirinya. janganlah mengagungkan
apa -apa yang dikecilkan oleh Allah”.
Disisi lain ketika manusia diberi kelebihan
tertentu maka bisa mengalami hasad dari org lain. Maka harus seimbang antara
yang hasad dan dihasadi. Bagi yang tidak hasad, maka harus bijak melihat nikmat
dari orang lain. Maka penting mempelajari afatu ala tariq ini sebagai solusi
bagi yang dihasadi dan terhinda rdari sifat hasad.
Hadist rasul saw yang mengatakan “laa hasada
illa fitnatayn”. Nah ketika melihat orang lain yang lebih, maka kita harus
belajar Merubah keinginan menjadi doa kepada Allah dan membuat kita muhasabah
tidak mungkin sampai dititik itu kalua bukan karena Allah. Makin kagum sama
Allah. Misal ada orang yang jenius dibidang ilmu lalu digunakan untuk islam. Maka
kita ingin seperti itu. Action kita adalah berdoa agar memiliki ilmu tersebut
dan semakin kagum bahwa Allah memberikan kehebatan itu pada orang itu (inilah
disebut dengan ghibtah).
Hasad sangat dibenci oleh Allah, dibalik hasad
ada banyak penyakit yang menyertainya. Penyakit hubbuddunya, dll. Dialah akhlaq
madmumah.
Hidup ini tidak dituntut untuk lebih hebat
dari orang lain, tapi dituntut untuk lebih baik dari diri kita sebelumnya. Konsentrasi settingan dari Allah agar kita
lebh baik lagi. Mansuia tidak akan dishisab atas diri orang lain. Kita akan
dihisab diri sendiri.
Penyebab hasud
1. Masih menganggap dunia ini terlalu berharga
untuk didamba-dambakan. Takatsur harusnya dalam urusan akhirat. Kalua kita
terusik maka bahaya. Jangan sampai kita gak rela dunia ini diberikan seakan akan
kepada orang lain, sedangkan Allah blm memberikan dunia kepada kita. Lalu kita
jadi benci, dan suudzon pada orang lain. Orang ini tidak terlepas dari cinta
dunia dna lupa akhirat. Tidak akan berhenti orang ini kalua belum ketemu dengan
kubur. Solusinya adalah hendaklah kita sering ingat mati, ziarah kubur. Kenikmatan
dunia tidak ada apa-apa kecuali untuk kepentingan akhirat. Orang yang hasud
itu, orang yang mampu menyakiti, tapi pada akhirnya Allah akan hinakan org
hasud untuk gagal dalam hasudnya. Seperti kisah nabi Yusuf as. Orang yang punya
kelebihan, seakan aman dari hasidin, maka dengan hadisidn, seorang mahsud lebih
mulia dan hasidin terhina di sisi Allah. Saudara yusuf yang menganggap yusuf lebih
dicintai sehingga membuat mereka harus jatuh pada maksiyat. Menyakiti orang tua.
Awalnya ketika ada penilaian bahwa adanya perasaan yusuf lebih dicintai oleh
ayahnya. Itulah cikal bakal lika liku kehidupan yang luar biasa yang diawali
dengan hasidin. Ketika Allah mengatakan “walamma asyuddahu..” ketika yusuf
remaja allah berikan hikmah dna ilmu, menunjukkan bahwa ketaatan pada allah sedini
mungkin akan menghasilkan ilmu dan hikmah kepada mansuia. Itulah perjalanan
nabi yusuf sampai akhirnya allah pertemukan lagi tanpa kesadaran
sudara-saudaranya kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar