“taharrir halal”
Menjaga kehalalan
Tarbiyah
romadohon yang berhasil harus menghasilkan sebuah kehati-hatian atau sebuah
sikap yang permanen. Contoh kasus terkait makanan yang haram. “kami tidak akan pernah terlintas untuk makan
yang haram”. Bahkan dalam hal ini berlaku apa yang disebut “tawarru’ fil adami
akalil haram” berhati-hati pada makan yang haram. Hati-hati ini sikap seperti
lebay kata orang. Tapi kita lihat ibrahnya. Betapa para tabiin selalu
diingatkan ketika telah makan. Ketika diingatkan bahwa apa yang telah
dimakannya ternyata mengandung yang haram. Seketika itu langsung memuntahkan
apa yang dimakannya. Betapa hati-hatinya dalam perkara makan. Itu sebagai
bentuk kehati-hatian dari tabiin. Maka bentuk yang lainnya adalah dengan
bertaubat, bisa juga dengan menggantikan makanan yang ternyata punya orang
lain, dll.
Terus
berusaha menjaga apa yang masuk maupun apa yang dimiliki tetap halal. Ini menunjukkan
ibadah yang semakin baik. QS. Al-a’raf (wayahillu lakumuthayyibat… wal aghlalu)
itulah yang menjadi ciri khas ummat Muhammad saw secara khusus. Ciri khas ini sudah
dikenl oleh ahli taurat dan injil. Itulah ayat alquran yang menunjukkan betapa
pentingnya menjaga kehalalan. Hadist Bukhori menunjukkan bahwa “akan datang
sebuah massa di mana manusia pada umumnya tidak peduli manusia apakah mencari
hartanya itu dengan cara halal maupun haram”, jika kita mengikuti di lapangan,
hadist ini betul-betul terasa. Bahwa orang2 yang masih berusaha mempertahankan
kehalalan rizqkinya sangat asing di tengah orang yang tak perduli. Terlebih Sudah
haram terlebih campur dengan syirik kepada allah. Sebagaimana manusia yang
mecari rizqi dengan menumbalkan anaknya, misal anaknya dibuat gila atau mati demi
rizqi. Kita juga menemukan orang pergi ke gunung untuk mencari harta. Inilah fitnah
akhir zaman.
Tujuh
dosa besar, salah satunya adalah merampas harta anak yatim. 3 hal yang
mempengaruhi kehidupan manusia, syirik pada Allah, riba dan merampas harta anak
yatim. Inilah bentuk penyimpangan yang terjerumus harta haram. Pentingnya Gerakan
untuk mengajak ummat kepada Alquran, dengan alquran, maka penjagaan diri
manusia akan menjadi kuat. Qs. Alfajr ada ancaman yang dahsyat yaitu mereka
yang terjerumus dalam harta haram, maka sepertinya di dunia enak dan bebas,
sungguh di akhirat akan sangat beresiko yang luar biasa, sengsara yang bisa
jadi abadi, dll. Begitu juga jangan
ditanya dalam kehidupan ummat islam terdahulu, bagaimana mereka selalu
mewaspadai hal2 haram. Bukan lagi itungan bulan, tapi setiap saatnya.
Para
istri tabiin setiap melepas suami bekerja mereka selalu mengingatkan “taharru
bil halal”. Usahakan lah yang halal. Sesungguhnya kami lebih bersabar dengan risiko
mendapatkan atau tidak mendapatkan harta hanya karena ingin halal. Yang tidak
kami sabari adalah ketika mendapatkan yang tidak halal. Tidak mungkin manusia
itu bersabar atas adzab atau api neraka. Pentingnya memakan hal2 yang
dihalalkan oleh Allah.
Hal yang perlu diwaspadai adalah tingkat personal. Bagaimana menghasilkan keimanan secara personal. Bahwa orang beriman tidak akan tertarik dengan sesuatu yang haram baik dengan dzat dan prosesnya yang haram. Tentu semua kembali pada keimanan pada Allah dan hari akhir, saat orang beriman bisa menghadirkan mengerikannya yaumul hisab, “la tazuulu..” di saat hisab kaki tidak akan selesai penghisaban setelah ditanya 4 hal, diantaranya adalah harta dari mana diperoleh dan untuk apa saja dibelanjakan. Inilah yang harus dibangun.
Dengan perjalanan waktu,
Allah akan menguji hambaNYa dengan keluarganya. Apakah masih kuat menjaga yang
halal ketika Sudha berumah tangga. Maka pentingnya untuk diingatkan. Terkadang selalu
tak terduga,
Raulullah
selalu mengingatkan hati-hati ketika ujiannya semakin meluas untuk taharrir
halal ini, apalagi kalau sudah terkait jabatan. Apabila tidak berhasil, maka ciri
khasnya adalah akan terfitnah atau tersibukkan untuk memperkaya diri
sehingga tidak peduli kehalalah hartanya. Rasulullah mengingatkan untuk tidak
pernah meminta jabatan kecuali sangat terpaksa. Contoh seperti nabi Yusuf. Meminta
jabatan karena semua di pemerintahan itu tidak solih. Jika kita memperubutkan
jabatan dan disitu ada orang solih, maka bisa jadi Allah tidak akan menolong
urusannya.
Dimensi
taharrir halal, pada dimensi pribadi adalah terjaga diri. Ketika sudah
berkeluarga/ berumah tangga, maka salah satu tarbiyahnya adalah bagaimana anak
dan istri jangan sampai kemasukan sesuatu yang haram. Menyiapkan generasi
terbaik. Dimensi lain adalah solahun nas. Ketika menjadi
bendahara di suatu komunitas dan dia memiliki akhlak taharrir halal, maka akan ada
keberkahan yang diperoleh. Dimensi masyarakat/ negara. Ketika tarbiyah Maliyah yang
baik, akan membuat negeri itu kuat dan Makmur. Semoga Allah menjaga negeri ini.
Ketika dakwah ada tema islahul hukumah, maka ada proses tarbiyah terhadap
pribadinya, orang2 yang sedang diuji dalam jabatan, agar dengan jabatan itu punya
kemmapuan menjaga amanah. Ketika manusia itu mendapat ujian memegang jabatan,
maka tarbiyah tazkiyatun nafs adalah “selama itu uang negara/ rakyat, maka di
dalam dirinya tidak ada tertarik sedikit pun”. Mereka yang faham terhadap
hakikat jabatan, seperti misal orang non islam dan takut dengan UU, Harusnya
orang beriman lebih-lebih dari itu, bukan karena takut UU. Bagi orang islam,
jabatan adalah untuk khodimul ummah. Melayani ummat.
Siapa
yang memahami bahwa menjadi pelayan ummat adalah amal solih adalah orang-orang
yang diagungkan oleh Allah. Jabatan bagi dirinya adalah khidmatun
nas. Bukan untuk mengeruk harta jabatan.
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
"
Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram,
dan cukupkanlah aku dengan karuniaMu dari bergantung pada selainMu”
(HR.
Tirmidzi No. 3563)